Latar Belakang
Sastra memiliki perjalanan sejarah yang cukup panjang, dimulai sejak masa
Jahiliyah, sebuah masa yang identik dengan masa kedholiman, masa munculnya
agama Islam, masa Umayyah, Abbasiyah, dan berakhir di masa Modern.
Setiap masa memiliki karakteristik khas, baik dalam kehidupan sosial,
budaya, politik, maupun kehidupan keintelektualan, khususnya dalam bidang
kesusastraan. Pada pembahasan ini, penulis akan memfokuskan pada bidang sastra,
yakni syair.
Masa Jahiliyah, terkenal dengan puncak masa kreatifitas dan imajinasi
penyair. Para penyair saat itu begitu terkenal dengan fashahah (kefasihan),
hasan al-ibda’ (memiliki kreatifitas yang bagus), jamal fi al-uslub
(gaya bahasa yang mempesona), dan sebagainya.
Selain itu, mereka tidak takalluf (memaksakan diri), tidak
terburu-buru, dan penuh perenungan dalam melahirkan sebuah syair. Sehingga
syair yang dilahirkan benar-benar indah baik dalam segi lafadz maupun maknanya.
Para penyair, di kalangan masyarakat Jahiliyah, ibarat seorang Nabi di
kalangan Umatnya. Mereka begitu diagung-agungkan, disanjung, serta perkataannya
diikuti. Hal itu tidak aneh, sebab bagi orang Arab saat itu, syair adalah buku
petunjuk dan senjata untuk memerangi kabilah lain.
Konon, orang Arab Jahiliyah membuat pesta (semacam tasyakkuran)
terhadap tiga hal: pertama, bila lahir seorang bayi, kedua, bila
muncul seorang penyair yang dianggap hebat, dan ketiga, bila seekor kuda
beranak.[1]
Diantara penyair yang piawai dalam bersya’ir adalah Zuhair bin Abu Sulma
dan Nabighoh Dzibyani. Kedua penyair ini merupakan pemilik syair Mu’allaqat,
syair yang terpilih karena keistimewaannya dalam aspek lafadz dan makna dan
digantungkan didinding Ka’bah.
Dengan alasan di atas, penulis tertarik untuk mengkaji syair Nabighoh
Dzibyani dan Zuhair dengan menggunakan pendekatan Strukturalisme, sehingga kita
bisa mengetahui di mana letak keistimewaannya.
Landasan Teori
Dalam menganalisa syair Nabighoh Dzibyani dan Zuhair, penulis memakai
pendekatan intrinsik atau Strukturalisme. Dalam paradigma teori Strukturalisme,
sebuah karya sastra (puisi maupun prosa) merupakan dunia yang otonom, sehingga
dalam menganalisa atau melakukan kajian, hanya cukup dengan menganalisa unsur-unsur
intrinsik syair tersebut.
Unsur Syair atau puisi, sebagaimana disebutkan oleh Pradopo, yaitu tema, nada, perasaan dan amanat. Pada pembahasan
ini, akan dititikberatkan pada aspek tema, uslub, dan amanat.
Analisis
Syair Zuhair bin Abu Sulma
a)
Biografi
Zuhair bin Abi Salma Rabiah bin Riyah Al
Muzni adalah orang ketiga dari pujangga- pujanga masa pertama Jahiliah yang
paling ringan perkataanya, kata- katanya paling ringkas, penuh dengan hikmah
dan syair-syairnya paling teratur.
Ia dibesarkan di Ghathfan, dan asal
usulnya dari Muzayanah dari keluarga penyair, baik yang laki-laki maupun
perempuan. Paling banyak dia mengambil syair dan hikmahnya serta adabnya dari
paman ayahnya Basyamah bin Ghadir salah seorang pemuka Ghathfan. Basyamah
adalah termasuk ahli syair yang unggul. Orang-orang Arab selalu mengadakan
persoalannya kepada mereka memberikan bagian harta rampasan ke hadapanya
sebagai orang mulia. Zuhair
mempunyai persamaan dengan dia dalam sebagian sifatnya dan memperoleh warisan tentang syairnya. Di
samping itu zuhair juga memperoleh dari Aus bin Hajar.
Zuhair mengkhususkan diri dalam memuji
Harim bin Sinan ad-Dzubyani al-Murry, Ia memujinya dengan pujian-pujian yang
mengabadikan namanya, sampai dijadikan sebagai suatu contoh seperti perkataan
Al-Bushiri dalam Burdahnya:
ولم أرد زهرة الدنيا التي اقتطفت * يدا زهير بما أثنى على
هرم
Aku tidak menghendaki bunga dunia yang
dipetik oleh tangan Zuhair atas apa yang dipujikannya pada Haram.
Yang
mengesankan dalam pujiannya adalah usahanya bersama Harits bin Auf dalam
perdamaian antara Abbas dan Dzubyan dalam perang Dahis dan Ghabra'. Ia adalah
seorang hartawan yang banyak harta, bijaksana, terkenal hati-hati, kuat
beragama, percaya kepada kebangkitan dan hisab, sebagaimana tercatat dalam
syairnya:
فلا تكتمن ما في نفوسكم * ليخفى زمهما يكتم الله يعلم
يوخر فيوضع
في كتاب فيدخر *
ليوم الحساب أو يعجل فينقم
Disamping
itu, ia adalah orang yang teliti, ia melaksanakan dan mengatur apa yang ia
katakan, terutama dalam muhala'ahnya, sampai ada yang mengatakan ia
menyusun qasidah lamanya 4 bulan dan baru dibacakan di depan umum setelah 1
tahun.
b)
Analisa Syair
سئمتُ
تكاليف الحياة ومـن يـَعِـشْ
|
ثمانينَ حولاً لا أَبـالَـكَ
يَسـْأَم
|
وأعلمُ ما
في اليومِ والأمـسِ قَبْـلَهُ
|
ولكنني عن علم ما في غـدٍ
عـَمِ
|
ومن هاب
أسباب المنـايـا يَنَلـْنـَهُ
|
ولو رامَ أسباب السـماء
بِـسـُلَّمِ
|
ومن يجعل
المعروفَ في غـير أهْـلِهِ
|
يَعُدْ حمدُهُ ذمّـاً عليـه
ويَـنْـدَمِ
|
ومهما تَكُن
عند امرىءٍ من خَلِيقَـةٍ
|
وإن خالـها تخفى على الناس
تُعْلَمِ
|
لأن لــسان
المرء مفتاح قلــبه
|
إذا هـو أبدى مـا يقول من
الفم
|
لـسان الفتى
نصـف ونــصف
|
فؤاده ولم يبق إلا صورة اللحم
والدم
|
Artinya:
Aku telah letih merasakan beban kehidupan
Sungguh aku letih setelah hidup delapan puluh tahun
ini
Aku tahu apa yang baru saja terjadi dan kemarin
hari
Namun terhadap masa depan sungguh aku buta
Barang siapa yang lari dari kematian sungguh akan
menemuinya
Walau ia panjat langit dengan tangganya
Barang siapa yang memuji orang yang tak pantas
dipuji
Maka esok hari pujiannya itu akan disesali
Seorang manusia tentu memiliki tabiat tertentu
Walau ia sangka tertutupi pasti orang lain akan
mengetahui
Itu karena lidah seseorang adalah kunci hatinya
Lidahnyalah yang menyingkap semua rahasia
Lidah itu adalah setengah pribadi manusia dan
setengahnya lagi adalah hati
Tidak ada selain itu kecuali daging dan darah
sahaja
Tema dan
Amanat
Syair ini menjelaskan tentang kehidupan dan marabahaya yang berada didepan
kita. Ia mengingatkan kepada kaumnya agar kekalahan jangan sampai terulang
lagi.
Uslub
Dalam pemilihan kata, Zuhair lebih sedikit memakai kata-kata yang sulit
dipahami ketimbang Nabighoh, ia
hanya memakai kata asing (Yadlrus, munsim, Zajaj, lahdzam, dan yatajamjam).
Namun secara keseluruhan uslub yang dipakai serta tarkib yang dirangkainya
sudah bagus dan penuh dengan keindahan.
Analisis
Syair Nabighoh Dzibyani
a)
Biografi
Nabighah ad-Dzubyani Abu Umamah Ziad bin
Muawiyah, adalah salah satu pujangga syair Jahiliyah dan ahli hukum di Ukadz
dan salah seorang yang paling kata muqaddimahnya, jelas maknanya dan halus I’tidzarnya.
Diberi julukan dengan Nabigah karena keahlian dalam syair secara tiba-tiba
setelah tua, padahal masa kecilnya tidak ada tanda-tanda sama sekali, dia
adalah salah seorang yang mulia dari kabilah Dzubyan, hanya usahanya dalam
syair menodai kemuliaannya, karena ia dalam syairnya hanya dalam usaha memuji
raja-raja arab. Untuk kepentingan itu, ia berhubungan dengan raja-raja Hirah
dan memujinya dan lama juga ia berteman dengan Nu’man bin Mundzir, sampai ia
merasa memperoleh mengambilnya sebagai kawan bicara dan memperoleh
hadiah-hadiah sampai ia makan dan minum dengan perkakas dari emas dan perak,
pada akhirnya sampai ia berani memakai selimut Nu’man dan beliau marah sampai
berniat membunuhnya.
Dalam hal ini Asham salah satu pujangga
Nu’man secara diam-diam menyampaikan kepadanya, maka lahirlah Nabighah Ke salah
satu raja Ghassan penyaing golongan mundzir dalam kerajaan arab, maka ia memuji
Amru bin Harits al-Ashghar dan saudaranya Nu’man. Hanya ssaja lamanya
persahabatannya dengan Nu’man, baikny perlakuan Nu’man terhadapnya dan
keinginannya untuk menunjukkan kebersihannya, semua ini menjadikannya merasa
rindu unutk kembali hidup dibawah naungannya, maka ia melelmparkan kembali
tuduhan kepada Nu’man dan meminta maaf dengan kasidah-kasidah yang mencabut
secara halus dendamnya dan sayanglah hatinya kepadanya. Nabighah bersama dia dalam kedudukan utama. Dia
berumur panjang, meninggal menjelang hijrah.
Ahli peneliti syair melihat bahwa nabighah
al-Dzubyani merupakan pujangga masa pertama jahiliyah, bahkan ada yang
menjadikan syairnya merupakan titik puncak keindahan dan kehalusan syair
jahiliyah dan para perawi memasukkan dia sebagai ashab mua’llaqat. Syairnya
mempunyai cirri khas akan lincahnya kata-kata, jelasnya arti, baiknya
susunannya, sedikit berlebih-labihan sampai pada orang yang yang berkecimpung
dalam bidang sya’ir seperti jazir menganggapnya ia adalah penyair yang paling
besar dan paling asik dalam bidang sya’ir. Dia menciptakan bermacam-macam madh
dan memperdalamnya sampai ia memuji sesuatu dan imbangannya.
Diantara qasidahnya yang memuji Nu'man:
فإنك شمس والملوك كواكب * اذا طلعت لم يبد منهن كوكب
Engkau adalah Matahari dan raja-raja
bagaikan bintang
Jika kau timbul, hilanglah bintang-bintang
Dalam mengklasifikasikan dia sebagai
penyair utama bukan hanya menurut ahli sya’ir saja, bahkan juga menurut
pendapat penyair-penyair Jahiliyah. Karena untuk suatu perkara mereka dihadapkan dipasar ukaz dan mereka
mengambil keputusan. Dimana mereka saling membawa syair-syair dan dia dapat
mengalahkan satu demi satu penyair-penyair yang ada. Dia mempunyai suatu
kumpulan syair yang disarahkan oleh al-Bathal Yausi. Dicetak
berkali-kali, walau tidak mengumpulkan kebanyakan syair-syairnya.
b)
Analisis Syair
كِلينيِ
لِـهَمٍّ يـا أُمَيْمـَةُ نَاصـبٍ
|
وليل أقاسيه بَطِيء
الكـواكـبِ
|
تطاولَ حتى
قلتُ: ليـس بـمنقضٍ
|
وليس الذي يرعى النجوم بـآيبِ
|
وصدرٍ أراحَ
الـليلُ عـازبَ هـَمِّهِ
|
تضاعف فيه الحزنُ من كل جانِب
|
عليَّ لعمـرو
نـعمةٌ بـعد نـعمةٍ
|
لوالِدِهِ ليسـت بـذاتِ
عَقـَارِبِ
|
وَثِقْتُ له
بالنصْرِ إذ قيـل قد غَزَتْ
|
كَتَائِبُ من غَسَّانَ غـيرُ
أشَـائِبِ
|
بنو عمه
دنْيَا وعـمرُو بـنُ عـامرٍ
|
أولئك قومٌ بأسهُم غـيرُ
كـَاذِبِ
|
Artinya
Wahai
Puteriku, Umaimah!
Biarkan
aku tenggelam dalam kesedihan yang tak berkesudahan
Biarkan
aku menikmati malam yang begitu panjang, bintang-bintang tak kunjung datang
padanya, dalam kesusahan hati
Malam
semakin panjang, ku kira tak akan ada ujungnya
Pagi
tak kunjung datang, tak seperti biasanya
Malam
seakan melupakan siang
Tentu
itu membuat hatiku semakin lelap dalam kesedihan
Namun,
aku bersyukur
Aku
telah dikarunia nikmat yang berlimpah
Dari
orangtuanya, nikmat tanpa cela sedikitpun
Aku
yakin kaumku menang berperang, tapi
Katanya
para punggawa Ghossan juga ikut berperang
Padahal
bila mereka ikut berperang
Burung-burung
mengiringinya dari angkasa
Nabighoh merupakan salah satu penyair
yang memiliki hubungan dekat dengan raja Hiroh, bahkan bila ia membuat
qasidah raja tersebut memberinya hadiah 100 unta. Hal ini membuat para penyair lain iri dan berusaha
memfitnahnya. Pada masa itu terjadi peperangan antara kerajaan ghassaniya
Syam dengan kabilah Dzibyan. Dalam peperangan tersebut, pasukan Dzibyan
kalah telak, kaum lelakinya dibunuh, sementara para wanita dijadikan budak.
Kemudian ia memuji pasukan Ghossaniyah dengan qasidahnya di atas.
Tema dan
Amanat
Pada syair di atas ada tiga tema pokok yang ingin disampaikan olehnya, pertama,
ia mendeskripsikan tentang malam yang begitu panjang, bintang-bintang tak
kunjung bersinar. Kedua, ia memuji salah satu pemuka Ghossan, Amr
bin Harits. Dan ketiga, ia menjelaskan keadaaannya dan keadaaan kaumnya
yang pedih atas kekalahan dalam perang tersebut.
Tema-tema yang diangkatnya bukan tema baru dalam syair arab. Umru'ul Qais
telah mendahuluinya dalam mendeskripsikan malam yang panjang. Begitu pula dalam
menjelaskan keadaannya mengahadapi kekalahan perang, mayoritas penyair
sebelumnya sudah biasa melantunkan syair semacam itu. Pujian juga merupakan
syair yang sudah ada pada saat itu, namun yang baru adalah objek yang
dipujinya. Belum ada penyair yang memuji Amr bin Harits tersebut.
Uslub
Sementara dalam aspek uslub, bisa dibilang secara keseluruhan ia
memakai lafadz fasih. Namun ada beberapa kata ghorib (kata-kata
yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang punya insting bahasa yang kuat),
seperti 'Aqarib, Asya'ib, Kawatsib, Jalib, Fulul, Arqolu dan lazib.
Kata-kata ini belum membooming pada saat itu, sehingga agak sulit bagi
masyarakat kebanyakan untuk mengerti maksudnya.
Syairnya ini juga mengandung unsur estetika, yang dalam ilmu Balaghoh
disebut badi'. Yaitu ketika ia menggunakan kalimat (Thuyur allati
tutabi' al-jaisy) Burung-burung mengiringi tentara Ghossan.
RUJUKAN:
Sami Makki al-‘Ani. Edisi 66 Agustus 1996. Majalah ‘Alam al-Ma’rifat:
al-Islam wa as-Syi’r. Kuwait.
Damono, Sapardi Joko. 2000. Sosiologi
Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa Dep. Pendidikan dan Kebudayaan.
Iskandari,
Ahmad dan Anani, Mustofa. Cet. 18. al-Wasith fi al-Adab al-'Arabi wa Tarikhuhu. Kairo: Darul
Ma'arif.
Bustani, Bitris. 1979. Udaba' al-Arab
fi ‘ashr Jahili wa Sadr Islam: Hayatuhum, Atsaruhum, wa Naqd Atsarihim. Dar
Maroon Abud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar